Salah satu prioritas pembangunan kesehatan dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional tahun 2015-2019 adalah perbaikan gizi, khususnya
stunting (pendek/kerdil), karena hal ini merupakan prediktor rendahnya kualitas sumber daya manusia yang dampaknya menimbulkan risiko penurunan kemampuan produktif suatu bangsa.
(1)
Apa itu Stunting?
Menurut WHO,
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita (bayi
dibawah lima tahun) akibat kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu
pendek untuk usianya. Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam
kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir akan tetapi, kondisi
stunting baru nampak` setelah bayi berusia 2 tahun. Balita pendek
(
stunted) dan sangat pendek (
severely stunted) adalah balita dengan
panjang badan (PB/U) atau tinggi badan (TB/U) menurut umurnya
dibandingkan dengan standar baku WHO-MGRS (
Multicentre Growth Reference
Study) 2006. Sedangkan definisi
Stunting menurut Kementrian Kesehatan
(Kemenkes) adalah anak balita dengan nilai z-scorenya kurang dari -2SD/
standar deviasi (
stunted) dan kurang dari -3SD (
severely stunted).
(2)
|
(www.sehatnegeriku.kemkes.go.id) |
Bagaimana Prevalensi Stunting di Indonesia ?
Di Indonesia, sekitar 37% (hampir 9 juta) anak balita mengalami
stunting (Riset Kesehatan Dasar / Riskesdas 2013) dan di seluruh dunia, Indonesia adalah negara dengan prevalensi
stunting kelima terbesar. Menurut Pemantauan Status Gizi (PSG) Tahun 2017, prevalensi balita yang mengalami
stunting di Indonesia masih tinggi, yakni sekitar 29,6% di atas batasan yang ditetapkan oleh WHO (20%). Penelitian Ricardo dalam Bhutta tahun 2013 menyebutkan bahwa balita
stunting berkontribusi terhadap 1,5 juta (15%) kematian anak balita di dunia dan menyebabkan 55 juta anak kehilangan masa hidup sehat setiap tahun.
(2) (3)
|
(www.sehatnegeriku.kemkes.go.id) |
Apa saja penyebab Stunting ?
Untuk menekan angka tersebut, masyarakat perlu memahami faktor apa saja yang menyebabkan stunting. Stunting disebabkan oleh faktor multi dimensi dan tidak hanya disebabkan oleh faktor gizi buruk yang dialami ibu hamil maupun anak balita. Intervensi yang paling menentukan untuk dapat mengurangi prevalensi stunting oleh karenanya perlu dilakukan pada 1000 Hari Pertama Kehidupan dari anak balita. Beberapa faktor yang menjadi penyebab stunting antara lain : (3)
- Praktek pengasuhan yang kurang baik
- Masih terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan ANC (Ante Natal Care), Post Natal Care dan pembelajaran dini yang berkualitas.
- Masih kurangnya akses rumah tangga/keluarga ke makanan bergizi.
- Kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi
Bagaimana dengan Risiko Kesehatan pada Anak yang mengalami Stunting?
Ada beberapa faktor risiko kesehatan yang dapat terjadi, antara lain:
(4)
- Stunting
dikaitkan dengan dengan otak yang kurang berkembang dengan konsekuensi
berbahaya untuk jangka waktu lama, termasuk kecilnya kemampuan mental
dan kapasitas untuk belajar, buruknya prestasi sekolah di masa kecil,
dan mengalami kesulitan mendapat pekerjaan ketika dewasa yang akhirnya
mengurangi pendapatan, serta peningkatan risiko penyakit kronis terkait
gizi seperti diabetes, hipertensi, dan obesitas.
- Memiliki risiko yang lebih besar untuk terserang penyakit, bahkan kematian dini.
- Kekerdilan dapat menurun pada generasi berikutnya, disebut siklus kekurangan gizi antargenerasi.
- Ketika
dewasa, seorang wanita stunting memiliki risiko lebih besar untuk
mengalami komplikasi selama persalinan karena panggul mereka lebih
kecil, dan berisiko dengan melahirkan bayi dengan berat badan lahir
rendah.
Bagaimana ciri-ciri dari anak yang mengalami Stunting?
- Tanda pubertas terlambat
- Pertumbuhan terlambat
- Pertumbuhan gigi terlambat
- Wajah tampak lebih mudah dari usianya
- Usia 8-10 tahun anak menjadi lebih pendiam
- Performa buruk pada tes perhatian dan memori belajar (5)
|
(http://siha.depkes.go.id/portal/files_upload/Buku_Saku_Stunting_Desa.pdf) |
Pencegahan Stunting
Pada tahun 2010, gerakan global yang dikenal dengan Scaling-Up Nutrition (SUN) diluncurkan dengan prinsip dasar bahwa semua penduduk berhak untuk memperoleh akses ke makanan yang cukup dan bergizi. Pada tahun 2012, Pemerintah Indonesia bergabung dalam gerakan tersebut melalui perancangan dua kerangka besar Intervensi Stunting. (3)
Kerangka Intervensi Stunting yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia terbagi menjadi dua yaitu, Intervensi Gizi Spesifik dan Intervensi Gizi Sensitif. Kerangka pertama adalah Intervensi Gizi Spesifik. Ini merupakan intervensi yang ditujukan kepada anak dalam 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dan berkontribusi pada 30% penurunan stunting. Kerangka kegiatan intervensi gizi spesifik umumnya dilakukan pada sektor kesehatan. (3)
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes RI, dr. Anung Sugihantono, M.Kes, yang sebelumnya menjabat sebagai Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat menerangkan bahwa intervensi yang paling menentukan adalah mempersiapkan seorang calon ibu, memberikan pelayanan kepada ibu hamil secara maksimal dan memastikan persalinan dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan. ASI Eksklusif diberikan, diawali dengan inisiasi menyusui dini dan pemantauan pertumbuhan perkembangan dilakukan secara terus menerus oleh tenaga kesehatan perlu dilakukan pada 1000 hari pertama kehidupan (HPK). (1)
Kondisi
stunting sudah tidak bisa ditangani lagi bila anak
memasuki usia dua tahun. Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya
stunting pada anak, ibu perlu mengonsumsi asupan gizi yang layak,
terutama selama masa kehamilan hingga anak lahir dan berusia 18 bulan.
Pada dasarnya, kelangsungan hidup dan kesehatan anak tidak dapat
dipisahkan dari kesehatan Sang ibu sendiri.
(4)
|
(http://siha.depkes.go.id/portal/files_upload/Buku_Saku_Stunting_Desa.pdf) |
Kerangka Intervensi
Stunting yang direncanakan oleh Pemerintah yang kedua adalah
Intervensi Gizi Sensitif. Kerangka ini idealnya dilakukan melalui berbagai kegiatan pembangunan diluar sektor kesehatan dan berkontribusi pada 70% Intervensi
Stunting. Diterangkan oleh Menteri Kesehatan RI, Nila Moeloek, terdapat tiga hal yang harus diperhatikan dalam pencegahan
stunting, yaitu perbaikan terhadap pola makan, pola asuh, serta perbaikan sanitasi dan akses air bersih. Menurut Menkes, kesehatan berada di hilir. Seringkali masalah-masalah non kesehatan menjadi akar dari masalah
stunting, baik itu masalah ekonomi, politik, sosial, budaya, kemiskinan, kurangnya pemberdayaan perempuan, serta masalah degradasi lingkungan. Oleh karena itu, ditegaskan oleh Menkes, kesehatan membutuhkan peran semua sektor dan tatanan masyarakat.
(3) (6)
|
(http://siha.depkes.go.id/portal/files_upload/Buku_Saku_Stunting_Desa.pdf) |
Dijelaskan oleh Direktur Jenderal Kesehatan
Masyarakat, dr. Kirana Pritasari, MQIH bahwa langkah utama perubahan perilaku
adalah mengedukasi perbaikan pola pemberian makan. Dimulai dari sebelum menjadi
ibu (remaja), kemudian saat hamil, memberikan ASI Eksklusif selama enam bulan,
dan pemberian makanan bergizi seimbang, terutama bagi anak usia dua tahun. Perlu
kita resapi bersama, bahwa bayi dilahirkan agar tercukupi kebutuhan gizinya
ditentukan sejak mendapatkan asupan makanan dari ibunya selama dalam kandungan.
“Itu kuncinya, agar saat anak lahir beratnya tidak kurang dari 2500 gram dengan
panjang badan tidak kurang dari 48 cm”, terang dr. Kirana.
(7)
Tantangan selanjutnya sesaat setelah bayi dilahirkan, ia perlu
mendapatkan colostrum dari air susu ibu (ASI). Bayi hanya membutuhkan
air susu ibunya (ASI Eksklusif) selama enam bulan pertama kehidupannya.
Setelah itu, saat bayi berusia 6 bulan, jangan sampai terlambat karena
bayi perlu diberi makanan pendamping ASI yang bergizi seimbang. “Ini menjadi penting, karena apabila diberikan makanan padat namun
tidak lengkap kandungan gizinya, maka meski berat dan panjang badan saat
lahir optimal (modalitas baik) namun tumbuh kembangnya menjadi tidak
optimal”, jelas dr. Kirana.
(7)
Berbicara tumbuh kembang anak, bukan hanya berbicara menambah berat
dan tinggi badan anak saja. Faktor pola pengasuhan, lingkungan dan
stimulasi juga mempengaruhi pencapaiannya. “Tinggi badan itu hanya salah satu. Yang lebih utama adalah kognitif, hal ini menjadi risiko yang paling berat untuk
stunting, kalau terlambat, itu yang berbahaya. Kalau tinggi badan, itu hanya
performance
(penampilan). Sementara kalau kognitif, ini menyangkut daya saing
dengan global, ini yang dikaitkan dengan produktifitas, pembangunan dan
ekonomi negara,” jelas dr. Kirana.
(7)
Penanggulangan
stunting menjadi tanggung jawab kita bersama, tidak hanya Pemerintah tetapi juga setiap keluarga Indonesia. Karena
stunting dalam jangka panjang berdampak buruk tidak hanya terhadap tumbuh kembang anak tetapi juga terhadap perkembangan emosi yang berakibat pada kerugian ekonomi. Mulai dari pemenuhan gizi yang baik selama 1000 Hari Pertama Kehidupan anak hingga menjaga lingkungan agar tetap bersih dan sehat. STOP generasi balita pendek di Indonesia.
Mari bersama wujudkan Indonesia sehat dengan mencegah STUNTING.